Laman

Jumat, 31 Juli 2015

Kisah Sukses Pengusaha Kapal Ferry Kepulauan Seribu

Muhlis bukanlah seorang insinyur atau menyecam bangku kuliahan. Bahkan lulus dari perguruan tinggi, pendidikan sekolah dasar saja tidak selesai. Dia belajar untuk membuat otodidak kapal. Perjalanan hidup yang banyak kontak dengan gelombang, angin, dan matahari diajarkan tentang apa yang paling dibutuhkan dari perjalanan di laut.

"Kami membutuhkan kapal yang solid. Kapal yang dapat mengangkut penumpang lebih cepat dan lebih aman," kata bapak tiga anak, Sabtu (4/7).

Pria yang tinggal di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu Utara, itu menciptakan disebut-penumpang kapal kapal-motor dengan dua mesin tambahan. Jika sepeda motor biasanya kapal hanya terdiri dari satu 10-silinder bertenaga penggerak, Muhlis menambahkan mesin 10 silinder dan 8 silinder.

Tambahan berarti tenaga mesin ekstra. Sena kapal Express, desain dan susah payah Muhlis, misalnya, bergerak lebih cepat dari kapal sejenis lainnya di Kepulauan Seribu. Karena lebih cepat untuk mendarat, peluang bahaya di laut dapat dikurangi. Selain itu, jika salah satu mesin mati, masih ada dua mesin lainnya yang berfungsi. Terombangambing pengalaman di laut karena off mesin tidak perlu diulang.

Pada hari Kamis awal Juli, Kompas mencoba Muara Angke kapal pesiar Sena Coconut Island Express bekerja Muhlis. Kapal itu berukuran 6 meter x 29 meter. Ketika ramai, seperti musim Lebaran, kapal dapat digunakan untuk menampung 150 penumpang.

Cepat dan berguna

Terdiri dari dua kapal dek dengan puluhan kursi. Sena ekspres kapal tidak hanya digunakan untuk mengangkut penumpang, tetapi juga untuk mengangkut barang-barang berbagai warga Pulau Kelapa. Barang yang diangkut adalah botol air, sepeda motor, barang-barang dasar, mesin kapal nelayan, sayuran, es batu, beras, dan masih banyak lagi.

Karena langit masih gelap, penumpang harus antre dalam kapal. Mereka juga membawa berbagai barang di tas, kotak, dan karung. Tarif kapal Rp 50.000 per orang.

Pukul 07.00, saat matahari terbit, kapal meninggalkan pelabuhan Muara Angke bergerak. Kapal itu melakukan perjalanan sekitar 60 kilometer ke cluster Kepulauan Seribu. Ketika kapal bergerak, angin mengibaskan rambutnya. Kapal bergerak membelah laut bergelombang ke gelembung untuk sisi kiri dan kanan kapal. Kapal buatan tahun 2012 itu bergerak maju dari kapal motor berlayar ke arah yang sama.

Pukul 10.00, sehingga tiba di dermaga Pulau Kelapa, penumpang segera bergegas keluar dari kapal. Warga mengatakan, kalau bukan untuk naik perahu Sena Express, perjalanan ke Pulau Kelapa bisa mengambil lima jam. "Saya sadar, setiap hari membawa kehidupan orang-orang pulo (panggilan untuk warga Kepulauan Seribu) dalam perjalanan laut. Kapal yang saya kemudikan harus mampu bergerak cepat dan aman untuk memberikan penumpang ke tujuan masing-masing," kata Muhlis.

Muhlis membeli mesin perahu seharga Rp 100 juta per unit. Biaya membuat seluruh kapal lebih dari Rp 900 juta. Kapal dibuat di Kepulauan Pasifik selama tiga bulan dengan melibatkan adat Pulau Kelapa. Bangka Belitung telah masih menyediakan kayu, seperti kayu ulin, menarik, dan meranti, yang diperlukan untuk membuat kapal. Dari bisnis kapal motor, laba Muhlis setidaknya $ 20 juta per bulan.

Meskipun relatif berhasil, Muhlis tidak ingin menjadi diam dan menggunakan pendapatan hanya untuk kesenangan pribadi. Dia mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk memberdayakan nelayan setempat. Sejak delapan tahun lalu, Muhlis menyediakan modal untuk 20 kelompok nelayan untuk berlayar memancing.

Muhlis (41)

LAHIR:
Cabangbungin, Bekasi
ISTRI:
Tonyih (36)
ANAK:
Muni (20), Tom (14), Melissa (4)
SEKOLAH:
SD Setia Jaya (kelas V SD)
Setiap kelompok nelayan, yang terdiri dari 8-10 orang, diberikan modal masing-masing Rp 30 juta untuk membuat kapal pesiar atau persyaratan pembelian. Sebagai bagian dari kerjasama, nelayan dan menjual sebagian ikan untuk Muhlis untuk dijual kembali di Muara Angke. Saat ini, Muhlis bekerja dengan 200 nelayan di Pulau Kelapa dan sekitarnya. Muhlis juga membangun kandang untuk budidaya kerapu di Pulau Kelapa.

Rise of kepahitan

Muhlis lahir di Cabangbungin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Orangtuanya bekerja sebagai petani dengan pendapatan biasa-biasa saja. Kemiskinan memaksa Muhlis putus di kelas V SD. Berusia bahkan 12 tahun ketika ia mulai nomaden sebagai penjaja dan loper koran. Anak jalanan bersama-sama, dia tidur di mana saja-dalam pintu dan beraspal pasar surat kabar atau tumpukan sampah.

Sebagai seorang remaja, Muhlis bekerja di salah satu di Muara Angke kapten memancing. Tugasnya membawa nelayan untuk membeli jatah untuk berlayar. Kadang-kadang ia juga mengundang para nelayan untuk menangkap ikan. Bekerja seperti itu tidak membuatnya bahagia. "Saya sering dimarahi. Salah sedikit dimarahi dan berteriak," katanya.

Pengalaman pahit itu tidak selalu merugikan. Muhlis membuktikan. Dari pengalamannya, ia belajar untuk menangkap ikan, membangun kapal, dan melakukan bisnis. Pada tahun 1995, ketika tinggal di pulau Panggang, Muhlis menjadi kolektor nelayan memancing di Kepulauan Seribu dijual di Muara Angke. Di Muara Angke, saudara menangani pemasaran dan kemasan. Laba dari bisnis ikan Rp 2 juta per hari.

Ketika ikan sulit untuk menangkap, Muhlis pecundang. Dia tidak pernah putus. Kebanyakan tabungan digunakan untuk membeli kayu sebagai pembuatan kapal penumpang. "Saya pikir bisnis sepeda motor kapal tidak akan pernah kehilangan. Perahu taksi selalu dibutuhkan orang," katanya.

Mulai dari trial and error, Muhlis membuat kapal dengan kapasitas 10 penumpang. Karena kayu mahal dan sulit diperoleh, Muhlis juga membuat kapal dengan bahan dasar fiber. Muhlis telah beberapa kali membuat dan menjual kapal penumpang biaya puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Sekarang ia mengoperasikan dua kapal motor. Karena ada majikan Pulau Kelapa kapal lain, dua kapal Muhlis, hanya berlayar seminggu sekali. "Pengangkutan penumpang harus rotasi, sehingga semua dapat rezeki," katanya.

Lahir di Bekasi dan hidup lebih dari 20 tahun sebagai pulo, kadang-kadang Muhlis rindu. Tinggal di wilayah Kepulauan Seribu asal sangat berbeda dengan sawah hijau. "Di pulau, apa serba mahal. Lezat di sini tenang, tidak ada kemacetan lalu lintas seperti di kota," katanya.

Delapan tahun yang lalu, Muhlis pindah ke Pulau Kelapa. Dia membangun sebuah rumah tiga kamar dibuat menghadap ke utara, ke laut. Dari jendela rumahnya, setiap hari Muhlis melihat matahari terbit dan terbenam. Sinar matahari mengingatkan perjalanan hidupnya sebagai berputar roda, kadang di bawah, kadang di atas, kadang-kadang seperti menghilang dan gelap di sekitar.

Dia sadar, hidup di pulau ini penuh dengan tantangan. Dengan kerja keras dan inovasi terus-menerus dilakukan karena dari pengalaman, Muhlis mencoba untuk bertahan hidup.